Rabu, 23 September 2015

Gw dan psikologi

Hai gw Hanna safira. Sekarang gw lagi kuliah dijurusan psikologi strata 1/ S1 seneng banget, kenapa? Soalnya gw itu udah kepengen jadi psikolog dari smp kelas 2 apa 3 gitu ya lupa gw juga. Awalnya sih gw niatnya mau jd dokter tapi gimana ya kalo dokter bisa bersifat universal juga kan ya, kalo psikolog lebih ke jiwa, sifat, perilaku. Bisa sih jadi dokter psikiater yang nanganin dirumah sakit jiwa tapi kalo itu tugasnya lebih ke anak ipa dan ke kedokteran lagi. Kalo gw lebih ke psikologi umum. Gw sih awalnya suka itu dari umur sekitar 14tahunan gw awalnya sering nonton berita yang isinya ada masalah sama 'jiwa anak' dan disitu ada ka seto whattt tau kan kak seto itu siapa? Gw tuh suka banget sama dia. Yaa dia itu sosok yang berkpribadian bagus menurut gw dr tata cara dia ngomong dan ngejelasin tentang 
pandangan dia terhadap seorang anak gw suka bgt cara penyampaian pendapat dia cara dia ngomong pokonya suka deh. Selain ka seto ada psikolog lain yaa yg sering gw liat di tv pas lagi mengemukakan pandangannya, mungkin namanya ga gw hafal ya soalnya jarang bgt muncul di tv dulu waktu jaman smp kan ka seto masih menjabat sebagai komnas perlindungan anak jadi sering muncul di tv tapi kalo skrg kan jarang muncul di tv. Tapi psikolog yg lain gw juga suka sih. Gw seneng banget sama jurusan ini, pokoknya suka banget deh, soalnya gw sering ketemu sama banyak orang yang deket sama gw dan yang ga deket sama gw, bahkan yang ga kenal atau sepintas ketemu dijalan. Gw seneng jadi tempat cerita seseorang, tapi gw juga punya batasan dalam menjadi pendengar yang baik karena dari sekian banyak nya yang curhat kadang mereka curhat panjang-lebar tanpa ngasih waktu gw bicara, menurut gw kalo emg lo pengen curhat curhat dan ungkapkan lah isi hati lo sama gw/orang lain tapi lebih kepada inti lah kasihlah waktu untuk gw/pendengar lo itu waktu bicara karena menjadi pendengar yang baik itu punya hak bicara ketika menjadi pendengar buat seseorang. 
Ngomong ngomong soal psikolog gw lebih pengen jadi konsultan/psikolog perkembangan anak/ psikolog anak (bukan psikolog anak khusus ya) pokoknya gw pengen jadi itu, kenapa soalnya gw lebih pengen berhubungan dan ketemu sama seorang remaja yaa meskipun sekarang gw masih menjadi remaja yaa karena gw udah ngalamin rasanya jadi remaja. Gw berpandangan banyak nya remaja gagal menjadi 'orang' itu letaknya waktu menjadi remaja kenapa? Karena remaja itu masa masa nya transisi mereka mau menjadi anak didik yang gagal/ maju. Terus gw juga mau mengemukakan pandangan gw yang lebih penting tentang remaja yang suka pacaran "dulu" sih emang gw pernah pacaran "pernah" bukan "suka" ya itu beda karena belajar dari pengalaman sih jadi gw kepengen aja menurut gw ada sistem yang salah dalam perkembangan masa tumbuh remaja kalo dalam urutan mereka, mereka harus banget pacaran, lambat laun pacaran itu menjadi satu kebutuhan pokok dan gw ga suka kalo seorang remaja haus akan pacaran, haus dan tergila-gila sampe mereka terjerumus dalam suatu hal yang negativ memang ngga selamanya mereka berpendapat bahwa pacaran itu salah tapi setan selalu ada dimana mana dan hal yang kita bicarakan tidak mungkin semua bisa terjadi. Harus ada sistem yang dirubah dari perkembangan remaja supaya ga banyak perzinahan dimana-mana. Yaa itu isi pendapat dan alasan gw kenapa gw suka dan memilih jurusan psikologi gw berharap dunia psikologi itu bukan sesuatu yang dianggap 'tidak waras' tapi kita mewaraskan hal yang dianggap benar padahal itu salah. 

Salam 
#satupsikologi 
Gunadarma University



Minggu, 08 Januari 2012

Kecerdasan Emosional – Pengertian, Definisi dan Unsur-unsurnya

Kecerdasan Emosional – Pengertian, Definisi dan Unsur-unsurnya. Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada anak-anak. Orang-orang yang dikuasai dorongan hati yang kurang memiliki kendali diri, menderita kekurangmampuan pengendalian moral.
Goleman (1997), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman (1997) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain. Menurut Harmoko (2005) Kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Jelas bila seorang indiovidu mempunyai kecerdasan emosi tinggi, dapat hidup lebih bahagia dan sukses karena percaya diri serta mampu menguasai emosi atau mempunyai kesehatan mental yang baik.
Sedangkan menurut Dio (2003), dalam konteks pekerjaan, pengertian kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengetahui yang orang lain rasakan, termasuk cara tepat untuk menangani masalah. Orang lain yang dimaksudkan disini bisa meliputi atasan, rekan sejawat, bawahan atau juga pelanggan. Realitas menunjukkan seringkali individu tidak mampu menangani masalah–masalah emosional di tempat kerja secara memuaskan. Bukan saja tidak mampu memahami perasaan diri sendiri, melainkan juga perasaan orang lain yang berinteraksi dengan kita. Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman dan konflik antar pribadi.
Berbeda dengan pemahaman negatif masyarakat tentang emosi yang lebih mengarah pada emosionalitas sebaiknya pengertian emosi dalam lingkup kecerdasan emosi lebih mengarah pada kemampuan yang bersifat positif. Didukung pendapat yang dikemukakan oleh Cooper (1999) bahwa kecerdasan emosi memungkinkan individu untuk dapat merasakan dan memahami dengan benar, selanjutnya mampu menggunakan daya dan kepekaan emosinya sebagai energi informasi dan pengaruh yang manusiawi. Sebaliknya bila individu tida memiliki kematangan emosi maka akan sulit mengelola emosinya secara baik dalam bekerja. Disamping itu individu akan menjadi pekerja yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan, tidak mampu bersikap terbuka dalam menerima perbedaan pendapat , kurang gigih dan sulit berkembang.
Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. 3 (tiga) unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).
Rujukan buku :
  • Atkinson, R. L. dkk. 1987. Pengantar Psikologi I. Jakarta : Penerbit Erlangga.
  • Cooper Cary & Makin Peter, 1995. Psikologi Untuk Manajer. Jakarta: Arcan.
  • Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Harmoko, R., Agung, 2005. Kecerdasan Emosional. Binuscareer.com